Sukabumi – Riuh suara debur ombak di pantai selatan, deretan perahu nelayan yang dihias meriah, dan aroma khas laut yang berpadu dengan wewangian menjadi penanda hadirnya momen sakral, Hari Nelayan. Di Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, perayaan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan representasi kuat dari identitas budaya, sejarah panjang, dan doa-doa kepada Sang Pencipta.

Setiap tahun, Hari Nelayan di Kabupaten Sukabumi dirayakan dengan gegap gempita, biasanya berlangsung antara bulan April hingga Mei, dengan puncak perayaan jatuh pada tanggal 6 April, bertepatan dengan Hari Nelayan Nasional. Kegiatan ini menjadi puncak ekspresi masyarakat pesisir terhadap laut sebagai sumber kehidupan dan kekayaan spiritual.

Menurut Yudi Mulyadi, Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disbudpora) Kabupaten Sukabumi, Hari Nelayan telah mengakar dalam budaya lokal sejak puluhan tahun silam.

“Hari Nelayan ini bukan hanya soal perayaan, tetapi juga warisan budaya maritim yang mencerminkan rasa syukur, persatuan komunitas, serta penghormatan kepada alam. Tradisi ini berakar kuat sejak 1960-an dan terus dijaga turun-temurun,” ujar Yudi pada Selasa (8/4/25).

Asal Usul dan Sejarah Hari Nelayan Sukabumi

Hari Nelayan bermula dari kesadaran komunitas nelayan di Palabuhanratu pada masa pasca-kemerdekaan. Pada saat itu, para nelayan merasa perlu menciptakan momentum bersama untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil laut dan keselamatan saat melaut.

Awalnya, tradisi ini dimulai sebagai syukuran laut kecil, namun seiring berjalannya waktu, tradisi ini bertransformasi menjadi pesta rakyat yang dirayakan secara besar-besaran. Tahun demi tahun, Hari Nelayan semakin dikenal dan menjadi ikon budaya Kabupaten Sukabumi.

“Nilai-nilai gotong royong, solidaritas sosial, dan spiritualitas lokal menjadi fondasi utama terbentuknya Hari Nelayan. Ini bukan perayaan yang dibuat pemerintah, tetapi muncul dari bawah, dari masyarakat sendiri,” kata Yudi.

Tradisi dan Rangkaian Ritual

Perayaan Hari Nelayan terdiri dari berbagai rangkaian kegiatan yang sarat makna budaya. Dimulai dengan ritual sesajen laut, atau yang biasa disebut hajat laut, masyarakat melakukan arak-arakan membawa kepala kerbau (yang kini digantikan dengan tabur benur), bunga, dan hasil bumi untuk dihanyutkan ke tengah laut sebagai simbol persembahan.

Ritual ini dilakukan dengan penuh khidmat, dipimpin oleh sesepuh adat dan tokoh masyarakat. Nuansa sakral begitu terasa ketika perahu hias yang membawa sesajen bergerak ke tengah lautan diiringi doa dan gamelan Sunda.

Selain ritual utama, perayaan Hari Nelayan juga diramaikan oleh berbagai kegiatan, antara lain:

– Pameran hasil tangkapan laut
– Lomba perahu hias
– Pertunjukan seni tradisional seperti calung, jaipong, dan wayang golek
– Pagelaran budaya maritim dan bazar UMKM pesisir

Dengan rangkaian kegiatan yang kaya makna ini, Hari Nelayan di Palabuhanratu tidak hanya menjadi momen perayaan, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga tradisi dan menghormati laut sebagai sumber kehidupan.