Jakarta – Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyatakan dukungannya terhadap langkah Indonesia dalam perdagangan karbon yang dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP30 di Belem, Brasil. Ia menilai Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi rendah karbon.
“Kita memang punya potensi karbon yang besar sekali. Jika melihat rencana pengurangan emisi melalui transisi energi dari fosil ke energi terbarukan, peluangnya sangat besar,” ujar Eddy seusai mengisi sesi di Paviliun Indonesia pada Selasa, 11 November 2025.
Eddy menambahkan, potensi pengembangan energi terbarukan Indonesia mencapai hampir 53 gigawatt, yang akan memberikan dampak signifikan terhadap penurunan emisi nasional. “Dari pengembangan energi sebesar itu, potensi penurunan emisi juga sangat besar,” katanya.
Pemerintah, lanjut Eddy, telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendukung pasar karbon, yakni melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Regulasi tersebut, menurutnya, memastikan kualitas karbon Indonesia berstandar tinggi.
“Perpres ini menjawab keraguan tentang kualitas karbon kita. Indonesia sudah memiliki peta jalan untuk menghasilkan karbon dengan integritas tinggi, tinggal bagaimana implementasinya di lapangan,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah juga telah membentuk tim pengarah untuk nilai ekonomi karbon yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. Eddy menjelaskan bahwa Indonesia kini memiliki perangkat regulasi yang aplikatif dan siap untuk diterapkan di pasar karbon global.
“Kami sudah meyakinkan para peminat karbon bahwa perangkat aturan kita sudah siap dan bisa digunakan untuk perdagangan karbon di Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut, Eddy menyebut MPR turut berperan dalam memastikan kebijakan karbon rendah di Indonesia berjalan konsisten dan terakselerasi sesuai jadwal. “Dalam penyusunan Perpres 110, kami ikut memberi masukan. Ke depan, kami juga akan berkontribusi dalam pembentukan legislasi pendukung seperti Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim,” pungkasnya.
